Penyebab
tragedi sukhoi super jet-100 di Gunung salak
Logika sederhananya, pilot akan mencari jalan keluar yang paling aman. Namun menaikkan pesawat untuk mengatasi awan mungkin dianggap terlalu tinggi, dari 10.000 kaki harus terbang melebihi 37.000 kaki. Karena itu, pilihannya hanya mencari jalan ke kanan, kiri, atau bawah, kata Deputi Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan Lapan Thomas Djamaluddin, ketika dihubungi dari Jakarta, Sabtu.
Karena itu, ia menjelaskan, pilihan minta izin menurunkan pesawat ke ketinggian 6.000 kaki mungkin didasarkan pada pertimbangan bahwa ada sedikit celah yang terlihat di bawah, tetapi terlambat memperhitungkan risiko yang lebih fatal dengan topografi yang bergunung-gunung.
Ia menguraikan, data MTSAT menunjukkan sekitar waktu kejadian, awan di sekitar Gunung Salak memang tampak sangat rapat dengan liputan awan lebih dari 70 persen.
Analisis indeks konveksi yang bisa menggambarkan ketinggian awan juga menunjukkan indeks sekitar 30 yang bermakna adanya awan Cb (Cumulonimbus) yang menjulang tinggi sampai sekitar 37.000 kaki (11,1 kilometer).
Data satelit itu, tambahnya, memberi gambaran bahwa saat kejadian, pesawat dikepung awan tebal yang menjulang tinggi. Pada saat sebelum jatuh itu, diinformasikan pesawat turun dari ketinggian 10.000 kaki (3 kilometer) ke 6.000 kaki (1,8 kilometer), padahal tinggi gunung Salak sekitar 2,2 km.
Namun analisis ini, tegasnya, hanya berdasarkan data satelit cuaca, sekadar untuk memberi jawaban sementara berdasarkan data, bukan berdasarkan spekulasi yang tak berdasar.
Analisis komprehensif tentang faktor lainnya tentu kita nantikan dari analisis rekamanan penerbangan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), walau tentu saja faktor cuaca tetap tak dapat dikesampingkan, kata Djamal.
Sementara itu, mantan Kepala Unit Pelaksana Teknis Hujan Buatan BPPT Syamsul Bahri yang ditemui mengatakan, saat berada di dalam kepungan awan seorang pilot memiliki risiko yang tinggi untuk tiba-tiba naik atau tiba-tiba turun.
Karena itulah, setiap pilot selalu menghindari awan untuk menghindari risiko ini dengan terbang jauh di atas liputan awan. Namun mungkin si pilot belum menguasai medan yang berat ini, kata Kepala Biro Perencanaan BPPT yang berpengalaman menerbangkan pesawat untuk layanan modifikasi cuaca itu .
Tragedi Sukhoi Gunung Salak Karena Sabotase ???
Tragedi Sukhoi ini menjadi topik hangat beberapa hari terakhir. terlebih diakibatkan oleh
berbagai keanehan yang terjadi, bahkan terlalu aneh bagi maskapai kelas dunia
dan pilot yang bersertifikat internasional. oleh karena itu banyak pihak
menduga dalam tragedi ini ada sabotase. Crash Sukhoi yang menabrak tebing
di Gunung Salak itu karena Sabotase
dengan motif persaingan bisnis antara Sukhoi
(Rusia) versus Boeing (USA) dan Airbus (Eropa) serta Fokker (Belanda),
begitulah bisik-bisik cerita yang beredar di beberapa kalangan.
Ada beberapa indikasi, yang paling tidak terlihat dari
3 buah kejanggalan dan 1 buah hal yang masih patut dipertanyakan lagi kebenaran
ceritanya.
1. Turun dari Ketinggian
10.000 Feet ke 6.000 Feet
Sebelum terbang biasanya pihak otoritas pengatur lalu
lintas udara memberikan kepada pilot pesawat semacam panduan atau flight plan
yang berisi rute, ketinggian jelajah, kecepatan jelajah, dan lain sebagainya.
Sebagaimana diketahui, ketinggian Gunung Salak sekitar 7.000 Feet, lalu
mengapa sebuah penerbangan joy flight diberikan rute yang melintasi Gunung
Salak (tinggi 7.000 Feet) dengan ketinggian jelajah pesawat yang berbahaya
yaitu 6.000 Feet, sehingga terjadi crash yang menabrak tebing, seperti terlihat
di gambar / foto lokasi kecelakaan.
Kalaupun pilot yang meminta turun ketinggian, mengapa
petugas air traffic di menara kontrol koq memperbolehkannya ?
Kuncinya adalah membuka kembali rencana terbang,
mengapa dipilihkan rute yang melintas diatas Gunung Salak ? lalu apa isi
rekaman percakapan terakhir antara Pilot Sukhoi tersebut dengan petugas Air
Traffic Control saat pesawat turun ke ketinggian 6.000 Feet padahal ketinggian
pegunungan disana sekitar 7.000 Feet ?
Adakah sudah ada rencana operasi inteljen (kerjasama CIA dengan agen kaki
tangan lokal Indonesia) untuk membikin pesawat ini crash dengan memberikan
rute melintas diatas Gunung Salak disertai dengan rencana memberikan perubahan
ketinggian jelajah (10.000 ft ke 6.000 feet) agar menabrak tebing ?
2. Fungsi Peralatan ELT dan
ELBA
ELT dan ELBA seharusnya secara otomatis akan langsung
berfungsi ketika ada crash atau sesuatu yang buruk terjadi atas pesawat itu,
tapi kenapa sesudah last contact koq sinyal ELT dan ELBA dari tidak bisa
dimonitor di Singapore atau Indonesi serta Australia ?. Apakah kedua alat ini
tidak berfungsi ?. Atau, ada sabotase atas kedua alat ini ?.
3. Manifes Penumpang
Sesuatu yang teramat janggal jika disebutkan Manifes
Penumpang ikut terbawa oleh seseorang yang ikut terbang dan menjadi korban.
Sebuah alibi yang susah dicek silang karena korbannya sudah mati.
Padahal manifes penumpang itu sesuatu yang masuk dalam
prosedur baku di sebuah operasi penerbangan.
4. Informasi dari Intel
Tanpa mengurangi rasa hormat, dan tak membantah bahwa
umur manusia adalah ketentuan mutlak dari Allah SWT. Tetapi, adakah sang Mantan
Menteri yang urung ikut itu dikarenakan ditelpon oleh seseorang agar
mengurungkan niat ikut terbang lantaran pesawat akan disabotase agar crash ?
sekian....
sumber : detikNews